Senin, 18 Januari 2010

Belajar dari Jatuh Bangun Politik dan Ekonomi China

Walau tak henti dikecam sebagai pelanggar hak azasi manusia oleh Amerika Serikat, China bangkit dari negara berkembang menjadi negara maju di Asia. Bahkan disinyalir sebagai ancaman oleh negara barat. Jatuh bangun Negeri Tirai Bambu ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. Artikel ini adalah lanjutan dari Kepemimpinan Indonesia Masa Depan: Perpaduan Timur dan Barat Gaya China.

Namun selalu saja ada yang iri dengan kemajuan yang dinikmati China. Amerika Serikat dan sekutunya menuduh China melakukan pelanggaran HAM berat pada tragedi Tiananmen tahun 1989. Namun banyak pihak yang lupa, bahwa Amerika melakukan hal yang sama, dengan menculik seorang Presiden dari negara berdaulat untuk diadili di Amerika Serikat. Nama Presiden tersebut adalah Manuel Noriega dari Panama. Banyak kalangan yang selalu mengulang-ulang apa yang disebut ‘kejahatan China di Tiananmen’, namun tentu saja sudah tidak ada yang peduli dengan Manuel Noriega, yang sekarang meringkuk di penjara Miami, Florida.

Dia dipenjara selama 135 tahun dengan tuduhan ‘mengedarkan narkoba’. Katakanlah Noriega memang benar mengedarkan narkoba, namun tidak ada raison d’ĂȘtre apapun untuk menculik seorang presiden negara berdaulat. Amerika Serikat dan sekutunya selalu mengutuk China, karena memberangus sekte Falun Gong dan melakukan represi di Tibet. Namun Amerika juga melakukan hal yang lebih buruk, dengan menginvasi Afganistan dan Irak. Adapun kecaman seperti ini tidak menggoyahkan posisi China sebagai superpower baru, yang secara de facto telah menggantikan posisi Uni Soviet.

Apa teladan yang bisa kita ambil dari kisah di atas? Hal yang pasti adalah Asia mampu menghasilkan kepemimpinan berkualitas, yang tidak kalah dengan barat. China yang memiliki penduduk terpadat di dunia, 1,3 miliar, berhasil menjadi superpower baru. Seharusnya Indonesia bisa juga seperti China, paling tidak menjadi superpower di tingkat Asia Tenggara. Indonesia memiliki garis pantai yang termasuk terpanjang di dunia, 17.000 pulau, dan 300 etnis. Alasan bahwa penduduk Indonesia terlalu banyak, sehingga kita tidak bisa maju, adalah absurd, karena China bisa maju. Alasan karena Indonesia terlalu heterogen, sehingga tidak maju, juga absurd, karena Amerika Serikat bisa maju. Secara historis, Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan China.

Raden Patah, Sultan Demak pertama, adalah keturunan Tionghoa, karena ibunya adalah Seorang Putri dari China. Secara kultural, masakan tionghoa sudah menjadi bagian dari masakan Indonesia, eg bakso, siomay, bakmi, pempek, lumpia, atau pangsit. Sudah dari sejak sebelum era kolonial Belanda, peranakan Tionghoa telah secara aktif menggerakkan perekonomian Indonesia. Secara politis, di jaman orde lama, Indonesia pernah memiliki hubungan yang sangat dekat dengan China.

Posisi Tawar

Hal yang bisa kita pelajari dari sepak terjang Deng adalah upaya keras dia untuk memadukan timur dan barat. Pada jaman Mao Tse Tung, Konfucianisme dilarang. Mao sangat membenci Kong Hu Chu. Namun di jaman Deng, Konfucianisme diperbolehkan kembali. Pada saat yang sama, Deng memperbolehkan investor dari Amerika Serikat dan Eropa untuk berinvestasi di China. Indonesia seharusnya bisa memiliki posisi tawar yang kuat seperti China.

Upaya keras China dalam ekonomi, telah menjadikan mereka memiliki posisi tawar kuat, sehingga investor asing hanya diperbolehkan memiliki saham sampai 49% saja di perusahaan China. Jika investor itu tidak mau komposisi seperti demikian, masih ada banyak perusahaan asing lain yang mau. Berbeda dengan Indonesia, yang asing bisa menguasai mayoritas mutlak. Bargaining position Indonesia harus ditingkatkan, dengan melakukan negosiasi ulang dengan investor asing, dan memperkuat insentif ekonomi kita.

Di saat yang bersamaan, investor harus diberikan kemudahan dalam perizinan dan beroperasi, namun di sisi lain harus dilakukan reformasi hukum untuk memperkuat daya tawar kita dalam bernegosiasi. Namun memang bagian paling berat adalah pada politik. China tetap konsisten dengan sistim satu partai, walaupun di wilayah otonomi Hong Kong demokrasi barat masih diperbolehkan beroperasi.

Dengan dinamika politik Indonesia sekarang, dimana diperbolehkan 30an partai yang beroperasi, agak sukar mengikuti garis politik China. Namun dengan sistim satu partai, China relatif sangat stabil. Jepang dan Thailand bisa juga dijadikan contoh, mereka multi partai, namun memiliki simbol pemersatu yang sangat kuat, yaitu kerajaan. Hal demikian tidak ada di Indonesia, yang murni republikan, dan tidak memiliki simbol pemersatu seperti Jepang dan Thailand.

Bagaimana Kita Belajar dari Kepemimpinan China

Belajar dari pengalaman China, kita perlu melakukan evaluasi ulang terhadap pemahaman akan demokrasi. Partai Komunis China memiliki proses kaderisasi politik yang sangat solid. Begitu solidnya, sampai mereka memiliki cabang di birokrasi, bahkan di kampus. Dengan jaringan yang begitu menggurita, maka sangat mudah untuk mendapatkan kader-kader yang solid.

Hal demikian pernah terjadi di Indonesia pada jaman orde baru, dimana secara ekonomi kita masih lebih solid, dan lebih dihargai di dunia internasional. Memutar jam politis kembali ke jaman orde baru jelas tidak mungkin, namun ada baiknya partai politik yang ada melakukan konsolidasi internal secara lebih baik, sehingga bisa memiliki SDM yang powerful. Kami sudah mengamati, ada beberapa parpol Indonesia yang sudah sangat solid dalam penggalangan SDM. Mereka berhasil menggaet intelektual-intelektual muda untuk memperkuat barisan.

Hal demikian juga dilakukan di China, dimana regenerasi berjalan dengan sangat mulus. Transisi kepemimpinan China dari Deng Xiaoping, ke Jiang Zemin, dan kemudian dari Jiang Zemin ke Hu Jintao berjalan dengan mulus. Namun sangat disayangkan, bahwa pada pemilu tahun 2009, yang muncul sebagai capres adalah muka-muka lama. Sangat diharapkan, seperti di China, muka-muka baru yang masih muda dan idealis bisa muncul untuk mensemarakkan bursa politik kita.

Sukses kebangkitan ekonomi China disebabkan oleh kuatnya semangat entrepreneurship mereka. Singapura, sebagai bandar perdagangan internasional, dibangun oleh imigran dari China selatan. Dimanapun mereka berada, China perantauan selalu aktif dalam kegiatan ekonomi setempat. Menjadi pegawai atau pekerja kantoran, adalah sesuatu yang kalau bisa dihindari oleh mereka.

Pengusaha VS Kantoran

Sangat berbeda dengan Indonesia, dimana menjadi pegawai kantoran adalah pekerjaan yang sangat dihargai, sedangkan menjadi entrepreneur kurang disukai. Komentar sebagian orang Indonesia mengenai entrepreneurship cenderung sumbang, seperti menjadikan orang matre atau mata duitan, atau itu pekerjaan yang beresiko tinggi. Sekarang kami mencoba bertanya, Apa salah menjadi matre? Apakah itu salah? Selama uang itu diperoleh secara halal, dan dibelanjakan atau diinvestasikan secara halal juga, tidak ada yang salah dengan menjadi matre.

Kemudian mengenai pekerjaan berisiko tinggi, jika risiko tersebut bisa dikelola, maka bisa menjadi gain bagi kita. Justru pekerjaan bereisiko tinggi adalah menjadi pegawai dengan gaji tetap, karena inflasi dan gejolak ekonomi kita yang tidak bisa diduga akan sukar dengan keadaan demikian untuk memenuhi kebutuhan kita. Diperlukan suatu dobrakan dan revolusi besar-besaran dalam pemahaman sebagian orang Indonesia mengenai entrepreneurship.

Diperlukan sarasehan atau forum yang berguna sebagai inkubator bisnis bagi para entrepreneur muda dan idealis. Dengan menumbuhkan jiwa entrepreneurship, maka kemakmuran ekonomi seperti yang dinikmati China akan sangat mungkin kita nikmati juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar